Informan #6 |
Pak Sarpin adalah seorang supir
pribadi yang telah berusia 39 tahun. Saat ditemui setelah selesai bekerja, ia
bersedia diwawancarai walaupun sempat menolak karena malu. Pria yang tinggal di
Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat ini biasanya bekerja dari hari Senin hingga
Jumat dan hari Minggu jika diperlukan. Biasanya, ia mulai bekerja dari pukul 8
pagi dan pulang pukul 4 sore di hari biasa dan hingga jam 2 siang di hari
Minggu.
Setibanya di rumah, kira-kira pukul 5
sore, Pak Sarpin menikmati waktu luangnya dengan beristirahat sambil minum kopi
yang disiapkan oleh istrinya. Sambil menikmati kopinya, ia biasa menonton acara
berita di TV. Walaupun sudah berkeluarga dan memiliki 2 anak (SD dan SMP), Pak Sarpin
lebih sering menikmati kopinya sambil duduk sendirian karena saat sore hari
sang istri sibuk mengepel dan memasak.
Pada hari Sabtu, di saat Pak Sarpin
libur, terkadang ia di rumah saja untuk nongkrong bersama tetangga. Ia tidak
selalu mengajak anaknya untuk pergi karena anaknya masih sekolah dan belum ada
kepastian apakah hari Sabtu akan diliburkan atau tidak. Pak Sarpin sering
menikmati waktu luangnya untuk pergi dan nongkrong di warung langganan dekat
rumahnya bersama dengan para tetangga. Di warung tersebut, Pak Sarpin biasanya
merokok sambil menyantap makanan kecil, seperti kacang atau kue-kue kecil. Jika
memang sedang bosan dengan suasana di rumah, Sarpin menaiki motornya dan pergi
berputar-putar daerah rumahnya. Kira-kira setiap 2 hingga 4 minggu sekali, pada
Sabtu pagi, Pak Sarpin pergi bersama istrinya ke Pasar Cengkareng untuk
berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Di hari Minggu, Pak Sarpin tetap
bekerja setengah hari. Sepulangnya dari bekerja, biasanya ia dan keluarga pergi
ke rumah temannya untuk silaturahmi atau pergi menghadiri acara pernikahan/kondangan.
Untuk orang Betawi, acara pernikahan umumnya dilakukan di rumah, bukan di
gedung. Setelah mengucapkan selamat pada pengantin, Pak Sarpin dan keluarga
menyantap makanan, mengobrol bersama tamu undangan lainnya, baru pulang. Jika
ada teman-teman dekatnya, Pak Sarpin bisa menghabiskan waktu lebih lama di
kondangan tersebut, tetapi tidak seharian, hanya selama sore hari saja.
Di kondangan yang dihadiri Pak Sarpin
dan keluarga, biasanya terdapat hiburan berupa dangdutan. Sesuai tradisi Betawi
pinggiran, sebuah hajatan harus ada dangdutan, karena kalau tidak ada, acara
tersebut akan sepi. Para tamu tidak akan mau duduk berlama-lama, jadi hanya
datang, bersalaman, lalu pergi. Jika ada dangdutan, tamu akan tinggal di tempat
acara lebih lama untuk menikmati panggungnya. Terkadang, ada pula tamu undangan
yang ikut berjoget dan bernyanyi, dalam istilah Betawi disebut ‘nyawer’. Pak
Sarpin mengaku bahwa ia memang menyukai musik dangdut, tetapi tidak
tergila-gila. Jumlah uang yang digunakan untuk nyawer bisa pecahan 5 ribu, 10
ribu, hingga 50 ribu, tergantung lagu dan artisnya. Semakin bagus lagu dan
artisnya, semakin tinggi jumlah sawerannya. Pak Sarpin menjelaskan alasannya
menyukai nyawer, “Kalau orang nyawer kan tersohor, namanya disebut2 terus.
Disebut sama penyanyinya. Bang Sarpin! Bang Sarpin. Tersohor. Orang sekampung
denger semua. Kalo duit tipis, ya sekali kasih dua kali kasih ya turun lagi,
kan malu depan panggung ga nyawer.” Untuk menyawer, Pak Sarpin naik ke atas
panggung dan berjoget bersama artis. Jika hanya di depan panggung, ia hanya berjoget
doang, tanpa nyawer.
Jika ingin mengajak anaknya bermain,
Pak Sarpin lebih senang membawa anaknya ke Timezone dibanding tempat rekreasi.
Timezone yang dipilih adalah yang di Cengkareng atau Daan Mogot Mall. Mereka bisa
menghabiskan waktu paling lama 2 jam di tempat bermain tersebut. Pak Sarpin
mengaku bahwa anaknya terkadang minta untuk pergi ke tempat lain, tetapi ia
sering menolak mengantarkan karena merasa lelah bekerja dan malas menghadapi
macet. Pak Sarpin berkata, “Biasanya anak yang minta mau ke sini, sini, tapi
yang nentuin tetep saya kemana kemananya.”
Kalau sedang ingin ke tempat rekreasi,
Pak Sarpin mengajak anaknya ke pantai. Ia bercerita, “Jalan juga paling ke
pantai. Ke pantai mana tuh yang deket Tangerang, Pasir Putih. Di Pantai Pasir
Putih palingan berenang air aja. Kalau saya ikut berenang dampingin anak-anak,
kalau istri gak. Paling ya makan makanan kecil lah. Tiker di sana bisa sewa paling
10 ribu apa 20 ribu.” Untuk berenang di tempat tersebut, Sarpin hanya perlu
membayar retribusi motor seharga Rp. 5.000 karena ia pergi bersama keluarga
menggunakan motor. Awalnya ia tidak tertarik dengan tempat wisata ini, tetapi
karena teman Sarpin menceritakan ada pantai yang murah meriah, ia menjadi
penasaran dan mencoba ke Pantai Pasir Putih.
Pak Sarpin tidak tertarik untuk pergi
ke mal atau taman kota. Ia lebih tertarik melakukan hobinya, yaitu bermain
bola. Namun, karena sudah lelah bekerja, ia sudah jarang bermain bola lagi dan
lebih senang menonton pertandingannya. Pak Sarpin sering menonton pertandingan
sepak bola terbuka antar kampung. Ia berniat untuk menonton ke Gelora Bung karno
jika tim nasional Indonesia sedang bermain. Tim favorit Pak Sarpin adalah Arema
Malang, sehingga jika sedang ada waktu luang, ia mau menonton tim favoritnya
itu saat datang ke Jakarta. Pertandingan-pertandingan sepak bola luar negeri
juga ia ikuti. Jika jam tayangnya tidak tengah malam, ia menyempatkan diri
untuk menonton.
Tidak ada tempat favorit bagi Pak
Sarpin untuk menikmati waktu luangnya. Pak Sarpin lebih senang mengajak
keluarga naik motor untuk berputar-putar daerah Jakarta Barat sambil mencari
wawasan dan jalan baru. Ia mengajarkan keluarganya untuk mengetahui jalan-jalan
yang ada. Jika ada yang menarik atau kejadian tertentu, Pak Sarpin dan keluarga
mampir sebentar, sehingga tidak tertuju di satu tempat saja. Sesuatu yang
menarik bagi Pak Sarpin dan keluarga adalah pasar kaget, pasar malam,
perlombaan, dan hiburan. Misalnya saja di pasar malam, Pak Sarpin mencari
barang-barang murah, biasanya berupa pakaian. Namun, jika tidak ada yang cocok,
maka mereka tidak belanja sama sekali karena tujuan utamanya hanya lihat-lihat,
bukan belanja.
Sebenarnya tidak ada tempat spesifik
yang tidak disukai oleh Pak Sarpin. Ia hanya tidak mau pergi ke tempat yang
tidak aman, misalnya banyak preman. Salah satu contohnya adalah pergi ke konser
atau pertandingan antar kampong. Jika ada potensi keributan, Pak Sarpin memilih
untuk tidak pergi. Akan tetapi, jika ia merasa acara akan berjalan damai, maka
ia akan tetap pergi ke tempat tersebut. Misalnya saja, saat Festival Tahun Baru
di Monas, Pak Sarpin mengajak keluarganya ke tempat tersebut untuk menonton
semua artis. Pak Sarpin mengajak keluarganya dari jam 9 malam hingga kembang
api selesai dinyalakaan.
Saat akhir minggu, waktu luang Pak
Sarpin terkadang dihabiskan untuk kerja bakti. RT tempat Pak Sarpin tinggal
mewajibkan warganya untuk kerja bakti sebulan sekali. Pak sarpin ikut membantu
membersihkan got, membersihkan rumput, dan membenarkan jalan yang rusak.
Danau Cipondoh |
Pak Sarpin kurang menyukai acara
running karena harus mengikuti pendaftaran. Dibanding mengikuti acara lari, ia
lebih senang jogging pagi bersama tetangga setalh sholat subuh. Kalau ada waktu
luang cukup banyak, Pak Sarpin juga memilih untuk bermain bola di lapangan
dekat rumahnya. Lapangan tersebut adalah lapangan kelurahan dan digunakan
secara umum. Jika ada orang yang sudah menggunakannya, Pak Sarpin dan
teman-temannya tinggal bergabung dan bermain bersama-sama.
Pak Sarpin suka melihat pameran tapi tidak
menyukai Pekan Raya Jakarta (PRJ). Kalaupun Pak Sarpin pergi, ia pergi bersama
teman dan tidak pernah mengajak keluarga karena tiketnya mahal. Harga tiket
masuk PRJ sekarang sekitar 25-30 ribu per orang. Jika pergi bersama keluarga,
Pak Sarpin harus membawa uang banyak karena mahal. Kalau ada pameran yang gratis,
seperti pameran tanaman, ia akan mengajak keluarganya ke acara tersebut.
Sebagai seseorang yang berpendapatan
minim, Pak Sarpin sudah cukup senang dengan destinasi wisata di Jakarta. Akan
tetapi, ia kurang puas karena transportasi umum kurang memadai. Pak Sarpin akan
lebih senang jika Jakarta tidak macet. Ia merekomendasikan, “Transportasinya
dibenerin, tempat wisatanya udah bagus karena ga mahal-mahal amat.”
Dibuat Oleh : Irine Jelika
No comments:
Post a Comment